Allah subhaanahu wa ta’aala
menggambarkan orang-orang beriman sebagai orang-orang yang paling
tinggi derajatnya. Oleh karenanya, mereka tidak dibenarkan memelihara
sikap lemah mental atau bersedih hati.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat
139)
Ayat di atas turun berkenaan dengan perang Uhud yang baru saja dilalui oleh Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum. Mereka mengalami kekalahan di dalamnya. Ketika Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari ayat di atas beliau mengatakan bahwa “Kesudahan yang baik dan pertolongan (Allah) akan berpihak kepadamu, wahai orang-orang yang beriman.” Artinya, walaupun mengalami kekalahan dalam perang, para sahabat radhiyallahu ‘anhum hendaknya tetap optimis, sebab pertolongan Allah ta’aala pada hakekatnya selalu bersama orang-orang beriman.
Sedangakn di dalam kitab Fi Dhzilalil Qur’an, Sayyid Qutub rahimahullah menulis: ”Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati karena
kamu adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya. Akidahmu lebih
tinggi karena kamu hanya bersujud kepada Allah saja, sedang mereka (kaum
musyrikin) bersujud kepada sesuatu dari makhluk ciptaan-Nya. Manhaj
kamu lebih tinggi karena kamu berjalan menurut manhaj Allah, sedang
mereka menempuh jalan kehidupan menurut manhaj yang dibuat oleh makhluk
Allah. Peranan kamu lebih tinggi, karena kamu pengemban wasiat atas
kemanusiaan seluruhnya, pembawa petunjuk kepada semua manusia, sedang
mereka menyimpang dari manhaj Allah, tersesat dari jalan yang lurus.
Kedudukanmu lebih tinggi karena kamu adalah pewaris bumi
sebagaimana yang dijanjikan Allah, sedang mereka akan musnah dan
dilupakan. Maka, jika kamu benar-benar beriman, niscaya kamu adalah
orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu benar-benar beriman,
maka janganlah kamu merasa lemah dan bersedih hati. Karena, semua itu
adalah sunnah Allah, yang mungkin saja ditimpakan kepadamu dan mungkin
saja ditimpakan kepada orang-orang lain. Akan tetapi, hanya kamulah yang
akan mendapatkan akibat yang baik setelah kamu berjihad dan berusaha
keras, setelah mendapatkan ujian dan setelah mengalami pembersihan.”
Penghayatan seorang mu’min bahwa dirinya menjadi paling tinggi
derajatnya di antara manusia lainnya hendaknya disyaratkan hanya
bilamana dirinya komit dengan manhaj Allah ta’aala dalam hidupnya di dunia. Namun ketika dirinya sudah meninggalkan manhaj Allah ta’aala dan
ikut serta sebagaimana manusia lainnya bergantung kepada manhaj bikinan
manusia dalam berjuang, maka saat itu ia terjerumus ke dalam jurang
kehinaan dan menjadi jauh dari berhak memperoleh pertolongan Allah ta’aala serta kemenangan, baik di dunia apalagi di akhirat kelak.
Ujian keimanan menjadi lebih terasa tatkala ummat mengalami kekalahan dalam pertarungan di dunia. Di satu sisi Allah ta’aala menjanjikan
kemenangan dan kemuliaan bagi orang-orang beriman namun realita
memperlihatkan bahwa yang berkuasa dan seolah menentukan segala sesuatu
perjalanan di dunia ini adalah kalangan orang-orang yang tidak beriman
bahkan kaum kuffar, yakni mereka yang menentang Islam dan kaum muslimin.
Inilah keadaan yang sedang kita alami dewasa ini. Sehingga jangan
heran bila di era seperti ini tidak sedikit muslim yang menyangka bahwa
satu-satunya jalan agar bisa menjadi mulia dan meraih kemenangan di
dunia ialah dengan jalan menempuh jalan yang serupa dengan jalan yang
telah ditempuh oleh kalangan yang saat ini sedang diberi keleluasaan
oleh Allah ta’aala untuk memimpin dunia, yakni kaum kuffar.
Maka sebagian muslim mulai menempuh jalan penguasaan teknologi
sebagai satu-satunya jalan meraih kejayaan. Ada lagi yang sibuk hanya
dalam bidang ”making-money” karena mengekor kepada mereka yang berprinsip time is money.
Atau ada pula yang menyangka bahwa jalan menempuh kemenangan adalah
dengan menyegerakan pengambil-alihan kekuasaan. Maka sibuklah mereka
dalam permainan politik pragmatis sistem Dajjal yang tidak lain hanya bakal menjerumuskan mereka kepada hubbud-dunya
dan mengabaikan tugas pokok yakni ber-da’wah dan ber-jihad. Semua
contoh tersebut hanya menunjukkan bahwa sebagian muslim akhirnya
memegang prinsip di luar Islam yaitu if you can’t beat them you join them (kalau anda tidak sanggup mengalahkan mereka, maka bergabung sajalah dengan mereka.)
Dalam era di mana ummat Islam sedang memperoleh giliran kalah sementara kaum kuffar memperoleh giliran merasakan kemenangan, maka semestinya orang-orang beriman meneladani contoh berjuangnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum
di fase sebelum meraih kemenangan yakni sewaktu di periode awal Makkah.
Pada masa itu para pendahulu kita sibuk memfokuskan diri dalam
menyelenggarakan da’wah kepada masyarakat pada
umumnya. Sedangkan kepada mereka yang menyambut seruan da’wah
ditingkatkan komitmennya melalui aktifitas tarbiyyah alias pengkaderan, penggemblengan agar menjadi anasir perubah yang mumpuni di tengah masyarakat.
Semua kegiatan tersebut (da’wah dan tarbiyyah)
hendaknya diselenggarakan dalam atmosfir yang mempersiapkan para kader
agar -bila tiba masanya di mana komando sudah jelas- mereka segera
menyambut seruan untuk al-jihad fi sabilillah dalam rangka mencapai dua kemungkinan: ’isy kariman (hidup mulia dalam kemenangan Islam di dunia) atau mati syahid.
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا
عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ
مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
”Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan
mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (QS Al-Ahzab ayat 23)
Sumber : Eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar